MAKALAH
EKONOMI
PEMBANGUNAN PERTANIAN
Sejarah
Pembangunan Pertanian di Indonesia dan Manfaatnya bagi Pembangunan Ekonomi
Indonesia
Kelompok 2 :
Maria Dewi O. P. 125040100111200
Dien Tamahera 125040100111228
Miftakhul Jannah 125040100111231
Nurlia Mar’atus S 125040100111238
Adde Septa Engjan 125040100111239
Fitri Sugiarti 125040100111243
Kelas: L
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
JURUSAN
SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
MALANG
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pembangunan sektor
pertanian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan nasional
secara keseluruhan. Pembangunan sektor pertanian ini sangat penting karena
menyangkut hajat hidup lebih dari setengah penduduk Indonesia yang menguntungkan
perekonomian keluarga pada sektor ini. Sehingga wajar pemerintah
memprioritaskan pembangunan pada sektor pertanian yang didukung oleh
sektor-sektor lainnya.
Sejalan dengan tujuan utama pembangunan
nasional yaitu untuk meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan
seluruh rakyat. Maka dalam pembangunan pertanian kesejahteraan petani perlu
mendapat perhatian dan tingkat pendapatan yang meningkat bisa dijadikan salah
satu indikator kesejahteraan petani.
Oleh karena itu,
dalam hal pengembangan sector pertanian sebagai
sumber utama kehidupan rakyat Indonesia salah satunya dengan mempelajari sejarah pembangunan pertanian Indonesia.
Dengan adanya kebijaka-kebijakan terdahulu kita dapat mengambil manfaatnya yang dapat membantu
para petani khususnya dalam peningkatan dan pembangunan pertanian.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
sejarah pembangunan pertanian di Indonesia ?
2. Apa
manfaat bagi pembangunan ekonomi Indonesia dari sejarah pembangunan pertanian
di Indonesia ?
1.3
Tujuan
1. Untuk
mengetahui sejarah pembangunan pertanian di Indonesia
2. Untuk
mengetahui manfaat bagi pembangunan ekonomi Indonesia.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pembangunan
Pertanian
Pembangunan
pertanian dapat didefinisikan sebagai suatu proses perubahan sosial.
Implementasinya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status dan
kesejahteraan petani semata, tetapi sekaligus juga dimaksudkan untuk
mengembangkan potensi sumberdaya manusia baik secara ekonomi, sosial, politik,
budaya, lingkungan, maupun melalui perbaikan (improvement), pertumbuhan
(growth) dan perubahan (change) (Iqbal dan Sudaryanto, 2008).
Dalam
literatur klasik pembangunan pertanian karya Arthur Mosher yang berjudul “Getting
Agriculture Moving” dijelaskan secara sederhana dan gamblang tentang syarat
pokok dan syarat pelancar dalam pembangunan pertanian. Syarat pokok pembangunan
pertanian meliputi: (1) adanya pasar untuk hasil-hasil usahatani, (2) teknologi
yang senantiasa berkembang, (3) tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi
secara lokal, (3) adanya perangsang produksi bagi petani, dan (5) tersedianya
pengangkutan yang lancar dan kontinyu. Adapun syarat pelancar pembangunan
pertanian meliputi: (1) pendidikan pembangunan, (2) kredit produksi, (3)
kegiatan gotong royong petani, (4) perbaikan dan perluasan tanah pertanian, dan
(5) perencanaan nasional pembangunan pertanian. Beberapa Negara berkembang,
termasuk Indonesia, mengikuti saran dan langkah kebijakan yang disarankan oleh
Mosher.
Pembangunan
pertanian di Indonesia dilaksanakan secara terencana dimulai sejak Repelita I
(1 April 1969), yaitu pada masa pemerintahan Orde Baru, yang tertuang dalam
strategi besar pembangunan nasional berupa Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang
(PU-PJP) yaitu PU-PJP I (1969-1994) dan PU-PJP II (1994-2019). Dalam PU-PJP I,
pembangunan dilaksanakan melalui lima serangkaian Repelita (Rencana Pembangunan
Lima Tahun) yang semuanya dititikberatkan pada sektor pertanian.
2.2
Pembangunan
Ekonomi
Saragih,
B (2001), menyampaikan untuk mengatasi masalah ekonomi yang begitu kompleks
diperlukan strategi pembangunan ekonomi yang mampu memberi solusi. Strategi
pembangunan yang dimaksud harus memiliki karakteristik sebagai berikut, 1)
memiliki jangkauan kemampuan memecahkan masalah ekonomi dan ketika strategi ini
diimplementasikan maka persoalan ekonomi akan dapat diatasi, 2) strategi yang
dipilih harus dapat memanfaatkan hasil-hasil pembangunan sebelumnya sehingga
pembangunan sebelumnya tidak menjadi sia-sia, 3) strategi yang dipilih harus
mampu membawa perekonomian Indonesia yang lebih cerah dan menjadi sinergis (interdepency
economy) dengan perekonomian dunia.
Di antara
pilihan strategi pembangunan ekonomi yang ada, strategi pembangunan yang
memenuhi karakteristik tersebut adalah Pembangunan Agribisnis (agribusiness
led development) yaitu strategi pembangunan ekonomi yang mengintegrasikan
pembangunan pertanian berkelanjutan (perkebunan, peternakan, perikanan dan
kehutanan) dengan pembangunan industri hulu dan hilir pertanian serta
sektor-sektor jasa yang terkait di dalamnya (Saragih, B. 1998).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Sejarah
Pembangunan Pertanian di Indonesia
Sejarah pembangunan pertanian
berawal pada masa orde baru. Pada awal masa orde baru pemerintahan menerima
beban berat dari buruknya perekonomian orde lama. Tahun 1966-1968 merupakan
tahun untuk rehabilitasi ekonomi. Pemerintah orde baru berusaha keras untuk
menurunkan inflasi dan menstabilkan harga. Dengan dikendalikannya inflasi,
stabilitas politik tercapai yang berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang
mulai terjamin dengan adanya IGGI. Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat
memulai membentuk rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima
Tahun (REPELITA). Berikut penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA.
1. REPELITA I (1969-1974)
Repelita
I mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974. Repelita
I ini merupakan landasan awal pembangunan pertanian di orde baru. Tujuan
yang ingin dicapai adalah pertumbuhan ekonomi 5% per tahun dengan sasaran yang
diutamakan adalah cukup pangan, cukup sandang, perbaikan prasarana terutama
untuk menunjang pertanian. Tentunya akan diikuti oleh adanya perluasan lapangan
kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Titik berat Repelita I ini
adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar
keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena
mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
Banyak program yang dilakukan oleh
pemerintah untuk merealisasikan programnya tersebut, antara lain :
a.
Memberikan bibit unggul kepada petani dan melakukan
beberapa eksperimen untuk mendapatkan bibit unggul yang tahan hama tersebut.
b.
Memperbaiki infrastuktur yang digunakan oleh sektor
pertanian seperti jalan raya, sarana irigasi sawah dan pasar yang menjadi
tempat dijualnya hasil pertanian.
c.
Melakukan transmigrasi agar lahan yang berada di
kalimantan, sulawesi, maluku dan papua dapat diolah agar menjadi lahan yang
mengahasilkan bagi perekonomian.
2. REPELITA II (1974-1979)
Repelita
II mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1974 hingga 31 Maret 1979. Target
pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 7,5% per tahun. Prioritas utamanya adalah
sektor pertanian yang merupakan dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam
negeri dan merupakan dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah
menjadi bahan baku. Selain itu sasaran Repelita II ini juga perluasan lapangan
kerja. Repelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk
7% setahun. Perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi
kenaikna produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang di rehabilitasi dan di
bangun.
3. REPELITA III (1979-1984)
Repelita
III mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1979 – 31 Maret 1984. Repelita III
lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan yang bertujuan terciptanya masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan
ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman pembangunan
nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur Pemerataan.
4. REPELITA IV (1984-1989)
Repelita IV mulai
dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1984 – 31 Maret 1989. Repelita IV adalah
peningkatan dari Repelita III. Peningkatan usaha-usaha untuk memperbaiki
kesejahteraan rakyat, mendorong pembagian pendapatan yang lebih adil dan
merata, memperluas kesempatan kerja. Prioritasnya untuk melanjutkan usaha
memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan
mesin-mesin industri sendiri.
Hasil yang dicapai
pada Repelita IV antara lain swasembada pangan. Pada tahun 1984 Indonesia
berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Kebijakan yang
ditempuh pada saat itu adalah menitikberatkan kepada usaha intensifikasi,
dengan menaikkan produksi terutama produktivitas padi pada areal yang telah
ada.
Pada waktu itu
rata-rata petani hanya memiliki setengah hektare dan kemampuan penguasaan
teknologi tanam juga belum banyak dikuasai kecuali bercocok tanam secara
tradisional. Pemerintah pun mencetak sejumlah tenaga penyuluh pertanian,
membentuk unit-unit koperasi untuk menjual bibit tanaman unggul, menyediakan
pupuk kimia dan juga insektisida untuk membasmi hama.
Sistem pengairan
diperbaiki dengan membuat irigasi ke sawah-sawah sehingga banyak sawah yang
semula hanya mengandalkan air hujan, kini bisa ditanami pada musim kemarau
dengan memanfaatkan sistem pengairan. Lahan-lahan percontohan pun dibangun,
kelompok petani dibentuk di setiap desa untuk mengikuti bimbingan dari para
penyuluh pertanian yang disebut Intensifikasi massal (Inmas) dan Bimbingan
massal (Bimas). Bukan hanya lewat tatap muka, tetapi juga disiarkan melalui
radio dan televisi bahkan juga sejumlah media cetak menyediakan halaman khusus
untuk koran masuk desa dengan muatan materi siaran yang khas pedesaan,
membimbing petani.
Hasilnya
Indonesia berhasil swasembada beras. Kesuksesan ini mendapatkan penghargaan
dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. Hal ini
merupakan prestasi besar bagi Indonesia.
5. REPELITA V (1989-1994)
Repelita
V mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1989 – 31 Maret 1994. Pada Repelita
V ini, lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk
memantapakan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya
serta menghasilkan barang ekspor. Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka
panjang tahap pertama. Lalu dilanjutkan pembangunan jangka panjang ke dua,
yaitu dengan mengadakan Repelita VI yang di harapkan akan mulai memasuki proses
tinggal landas Indonesia untuk memacu pembangunan dengan kekuatan sendiri demi
menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
6. REPELITA VI (1994-1999)
Repelita
VI mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1994 – 31 Maret 1999. Pada Repelita
VI titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan
dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber
daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak
utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda
negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan
peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim
Orde Baru runtuh.
Memasuki
era globalisasi yang dicirikan oleh persaingan perdagangan internasional yang
sangat ketat dan bebas, pembangunan pertanian semakin dideregulasi melalui
pengurangan subsidi, dukungan harga dan berbagai proteksi lainnya. Kemampuan
bersaing melalui proses produksi yang efisien merupakan pijakan utama bagi
kelangsungan hidup usahatani. Sehubungan dengan hal tersebut, maka partisipasi
dan kemampuan wirausaha petani merupakan faktor kunci keberhasilan pembangunan
pertanian.
Pemerintahan pada
Kabinet Indonesia Bersatu telah menetapkan program pembangunannya dengan
menggunakan strategi tiga jalur (triple track strategy) sebagai
manifestasi dari strategi pembangunan yang lebih pro-growth, pro-employment dan
pro-poor. Operasionalisasi konsep strategi tiga jalur tersebut
dirancang melalui hal-hal sebagai berikut:
1. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6.5 persen per
tahun melalui percepatan investasi dan ekspor.
2. Pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan
angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru.
3. Revitalisasi pertanian dan perdesaan untuk
berkontribusi pada pengentasan kemiskinan. Revitalisasi pertanian diartikan
sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian
secara proporsional dan kontekstual, melalui 26 peningkatan kinerja sektor
pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain.
Revitalisasi pertanian dimaksudkan untuk menggalang komitmen dan kerjasama
seluruh stakeholder dan mengubah paradigma pola piker
masyarakat dalam melihat pertanian tidak hanya sekedar penghasil komoditas
untuk dikonsumsi. Pertanian harus dilihat sebagai sektor yang multi-fungsi dan
sumber kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia.
Kegiatan pembangunan pertanian tahun 2005-2009
dilaksanakan melalui tiga program, yaitu:
1.
Program peningkatan
ketahanan pangan
Operasionalisasi program
peningkatan ketahanan pangan dilakukan melalui peningkatan produksi pangan,
menjaga ketersediaan pangan yang cukup aman dan halal di setiap daerah setiap
saat, dan antisipasi agar tidak terjadi kerawanan pangan.
2. Program pengembangan agribisnis
Operasionalisasi program
pengembangan agribisnis dilakukan melalui pengembangan sentra/kawasan
agribisnis komoditas unggulan.
3.
Program peningkatan
kesejahteraan petani.
Operasionalisasi
program peningkatan kesejahteraan petani dilakukan melalui pemberdayaan
penyuluhan, pendampingan, penjaminan usaha, perlindungan harga gabah, kebijakan
proteksi dan promosi lainnya.
Selama periode 2005-2009 pembangunan pertanian juga
terus mencatat berbagai keberhasilan. Salah satu yang patut disyukuri dan
membanggakan adalah Indonesia berhasil mencapai swasembada beras sejak tahun
2007, serta swasembada jagung dan gula konsumsi rumah tangga di tahun 2008.
Pembangunan
pertanian pada periode 2010-2014, Kementerian Pertanian mencanangkan 4 (empat)
target utama, yaitu sebagai berikut:
1.
Pencapaian Swasembada
dan Swasembada Berkelanjutan.
Dalam
rangka peningkatan produksi pertanian pada periode lima tahun ke depan
(2010-2014), Kementerian Pertanian akan lebih fokus pada peningkatan 39
komoditas unggulan nasional. Komoditas unggulan nasional tersebut terdiri dari
7 komoditas tanaman pangan, 10 komoditas hortikultura, 15 komoditas perkebunan,
dan 7 komoditas peternakan.
2.
Peningkatan
Diversifikasi Pangan.
Diversifikasi
pangan atau keragaman konsumsi pangan merupakan salah satu strategi mencapai
ketahanan pangan. Sasaran percepatan keragaman konsumsi pangan adalah
tercapainya pola konsumsi pangan yang aman, bermutu, dan bergizi seimbang yang
dicerminkan oleh tercapainya skor Pola Pangan Harapan (PPH) sekurang-kurangnya
93,3 pada tahun 2014. Konsumsi umbi-umbian, sayuran, buah-buahan, pangan hewani
ditingkatkan dengan mengutamakan produksi lokal, sehingga konsumsi beras
diharapkan turun sekitar 3% per tahun.
3.
Peningkatan Nilai
Tambah, Daya Saing, dan Ekspor.
Peningkatan nilai
tambah akan difokuskan pada dua hal yakni peningkatan kualitas dan jumlah
olahan produk pertanian untuk mendukung peningkatan daya saing dan ekspor.
Peningkatan kualitas produk pertanian (segar dan olahan) diukur dari
peningkatan jumlah produk pertanian yang mendapatkan sertifikasi jaminan mutu
(SNI, Organik, Good Agricultural Practices, Good
HandlingPractices, Good Manucfacturing Practices). Peningkatan
daya saing akan difokuskan pada pengembangan produk berbasis sumberdaya local
yang bisa meningkatkan pemenuhan permintaan untuk konsumsi dalam negeri dan
bisa mengurangi ketergantungan impor (substitusi impor).
Peningkatan
ekspor akan difokuskan pada pengembangan produk yang punya daya saing di pasar
internasional, baik segar maupun olahan, yang kebutuhan di pasar dalam negeri
sudah tercukupi. Indikatornya adalah pertumbuhan volume ekspor. Sedangkan
indikator utama, strategi, dan rencana aksi dalam rangka peningkatan nilai
tambah, daya saing, dan ekspor produk pertanian pada periode lima tahun ke
depan (2010-2014).
4.
Peningkatan
Kesejahteraan Petani.
Unsur penting yang
berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani adalah tingkat pendapatan petani.
Walaupun demikian tidak selalu upaya peningkatan pendapatan petani secara
otomatis diikuti dengan peningkatan kesejahteraan petani, karena kesejahteraan
petani juga tergantung pada nilai pengeluaran yang harus dibelanjakan keluarga
petani serta faktor-faktor non-finansial seperti factor sosial budaya. Walaupun
demikian, sisi pendapatan petani merupakan sisi yang terkait secara langsung
dengan tugas pokok dan fungsi Kementerian Pertanian. Oleh karena itu, dalam
kerangka peningkatan kesejahteraan petani, prioritas utama Kementerian
Pertanian adalah upaya meningkatkan pendapatan petani.
3.2
Manfaat bagi
Pembangunan Ekonomi Indonesia
Pelaksanaan dari
amanat tersebut sudah tergambar dalam fakta empiris yang tercermin pada
sumbangan sektor pertanian pada PDB dan banyaknya masyarakat yang bergantung
dan bergerak di sektor pertanian. Selain
itu, masih banyaknya sebgaian besar masyarakat yang berada di bawah garis
kemiskinan semakin mempertegas dasar kita untuk menjadikan sektor pertanian
sebagai penggerak perekonomian nasional.
a. Peranan dalam pembentukan Produk Domestik
Bruto (PDB).
Pada tahun 1996, PDB sektor pertanian, termasuk pula kehutanan dan
perikanan, adalah sebesar Rp 63,8 triliun. Nilai ini terus meningkat menjadi Rp
66,4 triliun pada tahun 2000. Besarnya PDB pertanian tersebut memberikan
kontribusi sekitar 17 persen terhadap PDB nasional. Bila dibandingkan dengan
sektor lain, maka kontribusi PDB pertanian menduduki urutan kedua setelah
sektor industri manufaktur. Di samping
kontribusi langsung terhadap PDB yang cukup signifikan, sektor pertanian juga
telah menunjukkan ketangguhan dalam menjaga stabilitas ekonomi pada masa krisis
perekonomian nasional. Ketangguhan
sektor ini
ditunjukkan oleh kemampuannya
untuk tetap
tumbuh secara positif pada masa
(1998) sementara perekonomian nasional secara agregat mengalami kontraksi yang
sangat hebat, yaitu sebesar 13,7 persen.
b. Penyerapan tenaga kerja
Sektor pertanian
berikut sistem agribisnisnya sangat dominan perannya dalam penyerapan tenaga kerja, yang mampu
menyerap 45,0 persen dari total penyerapan tenaga kerja nasional, atau
menempati urutan pertama dalam penyerapan tenaga kerja. Apalagi jika kita
menyimak struktur ketenagakerjaan pedesaan, maka peran strategis sektor
pertanian bahkan lebih tak terbantahkan.
Dalam tahun 1997
struktur kesempatan kerja pedesaan secara agregat menunjukkan bahwa peranan
sektor pertanian memegang 58,8 persen dari kesempatan kerja pedesaan, yang
secara absolut besarnya 57,5 juta orang. Peran sektor pertanian di luar Jawa
juga lebih besar yaitu sebesar 66,9 persen dibandingkan dengan di Jawa yang
besarnya 50,65%. Sebaliknya, sektor non-pertanian di Jawa hanya menyumbang 33,1%
dan di luar Jawa menyumbang 49,4% kesempatan kerja, yang pada umumnya berupa
jasa perdagangan, jasa kemasyarakatan, bangunan, dan jasa pengangkutan. Keadaan ini menunjukkan masih tetap
dominannya peran sektor pertanian dalam perekonomian rumah tangga pedesaan,
baik di Jawa maupun di luar Jawa. Dan kegiatan di luar sektor pertanian masih
relatif kecil dan sedang bertumbuh, serta tidak bisa dilepaskan keterkaitannya
kegiatan di pertanian.
Selanjutnya, selama masa kontraksi ekonomi
nasional akibat krisis pada tahun 1998, yang secara penyerapan tenaga kerja
nasional menurun sebesar 2,13 persen, atau sebesar 6,4 juta orang di semua
sektor ekonomi (kecuali listrik), maka sektor agribisnis justru mampu
meningkatkan kapasitas penyerapan tenaga kerja sebanyak 0,4 juta orang. Fakta empiris ini menunjukkan bahwa sektor
agribisnis masih merupakan sektor yang paling tangguh dalam menghadapi krisis
dan paling berjasa dalam menampung pengangguran sebagai akibat krisis ekonomi.
c. Peranan sebagai penghasil devisa
Kontribusi agribisnis
dalam total nilai ekspor Indonesia pada tahun 1990 mencapai 43 persen, dan
meningkat menjadi sekitar 49 persen pada tahun 1995. Sementara itu impor
Indonesia, pangsa impor sektor agribisnis relatif kecil dan cenderung menurun.
Pada tahun 1990 pangsa impor sektor agribisnis hanya sekitar 24 persen dan
menurun menjadi sekitar 16 persen pada tahun 1995. Selanjutnya, selama masa
krisis, ekspor produk pertanian juga
mengalami peningkatan yang cukup besar. Pada tahun 1998 ekspor pertanian naik sebesar
26,5 persen dibanding tahun 1995. Peningkatan ekspor pertanian selama masa
krisis (1991-1998) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata sebelum
krisis yakni hanya sebesar 4,5 persen per tahun (1982-1997). Sebaliknya ekspor
produk manufaktur turun sebesar 4,2 persen selama tahun 1997-1998. Hampir semua
ekspor produk industri berbahan baku impor turun kecuali semen. Namun ekspor
produk agroindustri yang berbasis pada sumber daya lokal seperti minyak atsiri,
asam lemak, barang anyaman (kecuali minyak sawit) mengalami peningkatan.
Meskipun sebagian dari kenaikan ini disebabkan oleh meningkatnya nilai mata
uang dolar, namun dengan rendah atau hampir tidak adanya komponen impor di
sektor pertanian, maka kenaikan tersebut masih merupakan suatu bukti empiris
pembangunan ekonomi dengan menggunakan sektor pertanian sebagai penggerak utama
akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesempatan kerja dan
berusaha dan peningkatan devisa negara.
d.
Meningkatkan
pembangunan ekonomi daerah
Peran sektor pertanian lain yang juga sangat penting adalah
dalam meningkatkan pembangunan ekonomi daerah. Sesuai tujuan pokok dari
pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, adalah untuk
mempercepat perkembangan ekonomi daerah. Cara yang efektif dan efisien untuk
membangun ekonomi daerah adalah melalui pendayagunaan berbagai sumber daya
ekonomi yang dimiliki daerah.
Pada saat ini sumber daya ekonomi yang dimiliki dan siap
didayagunakan untuk pembangunan ekonomi daerah adalah sumber daya agribisnis
seperti sumber daya alam (lahan, air, keragaman hayati, agro-klimat), sumber
daya manusia di bidang agribisnis, dan teknologi di bidang agribisnis. Selain
itu, sektor agribisnis adalah penyumbang terbesar dalam produk domestik
regional bruto (PDRB) dan ekspor daerah. Dalam penyerapan tenaga kerja,
kesempatan berusaha di setiap daerah, sebagian besar juga disumbang oleh sektor
agribisnis. Oleh karena itu, pembangunan agribisnis untuk mempercepat
pembangunan ekonomi daerah merupakan pilihan yang paling rasional. Dengan kata
lain, pembangunan agribisnis perlu dijadikan sebagai pilar pembangunan ekonomi
wilayah. (Kwik Kian Gie, 2002)
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dengan tetap memberi penghargaan tinggi pada pelaku pembangunan di masa
lalu, pembangunan ekonomi di masa lalu dirasakan lebih diarahkan untuk
mencapai pertumbuhan yang tinggi, dengan harapan bahwa hasil pertumbuhan
ekonomi tersebut akan secara otomatis
mengalir pada lapisan masyarakat di bawahnya sehingga seluruh lapisan
masyarakat secara bertahap akan meningkat kesejahteraannya.
Pembangunan
dilaksanakan melalui lima serangkaian Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
yang semuanya dititik beratkan pada sektor pertanian sebagai berikut:
1. Repelita
I: titik berat pada sektor pertanian dan industri pendukung sektor pertanian.
2. Repelita
II: titik berat pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri pengolah
bahan mentah menjadi bahan baku.
3. Repelita
III: titik berat pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan
meningkatkan industri pengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
4. Repelita
IV: titik berat pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha menuju swasembada
pangan dengan meningkatkan industri penghasil mesin-mesin.
5.
Repelita V: melanjutkan Repelita IV.
Manfaat bagi bagi pembangunan ekonomi
Indonesia adalah dalam hal
pembentukan pendapatan nasional dan menjaga stabilitas ekonomi pada masa krisis perekonomian
nasional. Sektor pertanian adalah sektor yang paling tangguh dalam menghadapi krisis
dan paling berjasa dalam menampung pengangguran atau penyerap
tenaga kerja sebagai akibat krisis
ekonomi. Manfaat
lain dari pembangunan pertanian yaitu sebagai penghasil devisa negara dan
meningkatkan pembangunan ekonomi daerah melalui pendayagunaan
berbagai sumber daya ekonomi yang dimiliki daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Gie, Kwik Kian. 2002. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Nasional:
Sektor Pertanian Sebagai “Prime Mover” Pembangunan Ekonomi Nasional. Jakarta
Iqbal
dan Sudaryanto, 2008. dan Arthur Mosher dalam Hotden Leonardo. 2012. Pengembangan
Sistem Agribisnis Dalam Rangka Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Medan: HKBP Nommensen Medan
Saragih,
B. 1998. Kumpulan Pemikiran Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi
Berbasis Pertanian. Yayasan Persada Mulia Indonesia.
Saragih,
B. 2001. Pembangunan Sistem Agribisnis di Indonesia dan Peranan Public
Relation. Makalah Seminar Peranan Public Relation dalam Pembangunan
Pertanian. Program Pascasarjana PS. KMP-IPB. Bogor.